29 Desember 2008

Kerjasama Bank Umum Syariah dengan LKMS Untuk Memberdayakan Ekonomi Ummat : Peluang dan Hambatan




Oleh : Alihozi

Http://alihozi77.blogspot.com





Usaha kecil dan menengah (UKM) yang dijalankan oleh sebagian ummat Islam merupakan usaha yang paling tahan terhadap krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1998 dan paling banyak dalam menyerap tenaga kerja sampai pada tingkat 80%. Oleh karena itu diperlukan kerjasama yang baik dan erat antara Bank Umum Syariah dengan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) seperti BPR Syariah dan BMT untuk membantu dalam memajukan usaha kecil dan menengah ummat Islam di seluruh Indonesia. Berikut ini salah satu contoh nyata keberhasilan kerjasama antara Bank Umum Syariah tempat saya bekerja dengan salah satu BPR Syariah (BPRS) .


“Sejak tahun 2005 kami (Bank Umum Syariah) telah bekerjasama dengan sebuah BPRS di daerah Jakarta Selatan, dari BPRS tsb masih merugi sampai dengan bisa menguntungkan dan bisa dengan lancar membayar angsuran kepada kami (Bank Umum Syariah) . Selama ini kami bekerjasama dengan BPRS dengan menggunakan akad mudharabah yang mana kami menyediakan dana dan BPRS tsb yang menyalurkannya lagi kepada para pedagang atau pengusaha kecil di daerah Jakarta Selatan. Dan sekarang ini BPRS tsb telah beberapa kali mengajukan tambahan pembiayaan dengan Bank Umum Syariah.”


Dengan melihat salah satu kisah nyata keberhasilan kerjasama antara Bank Umum Syariah dengan BPRS dalam membantu para pedagang dan pengusaha kecil tsb di atas, penulis bisa mengambil kesimpulan bahwa peluang memberdayakan ekonomi ummat melalui kerjasama Bank Umum Syariah dengan LKMS seperti BPRS amatlah besar. Karena LKMS yang ada di Indonesia jumlahnya banyak dan berdasarkan data BI per Oktober 2008 jumlah BPRS saja ada 128 buah dan pembiayaan yang berhasil disalurkan BPRS mencapai +/- 1,2 triliun, meningkat 42,9% dibandingkan dengan bulan desember 2007. Dan terbukti bahwa konsep perbankan syariah yang diterapkan oleh Bank Umum Syariah dan LKMS amatlah cocok dengan kondisi ummat Islam saat ini.


Walaupun peluang memberdayakan ekonomi ummat melalui kerjasama Bank Umum Syariah dengan LKMS begitu besar bukan berarti tanpa hambatan. Berdasarkan pengamatan di lapangan, ada juga beberapa LKMS yang sudah bekerjasama dengan Bank Umum Syariah menemui kegagalan dalam mengembangkan ekonomi ummat karena adanya hambatan-hambatan yang ditemui pada praktek di lapangan.

©Alihozi 30 Desember 2008


Berikut ini beberapa hambatan yang dialami baik oleh Bank Umum Syariah maupun LKMS yang terjadi berdasarkan pengamatan penulis pada praktek di lapangan :


1.Kualitas dan kuantitas Sumber Daya Insani (SDI) baik di Bank Umum Syariah dan LKMS belum memadai. Contohnya, Bank Umum Syariah sangat kekurangan SDI yang menguasai seluk beluk operasional bank syariah terutama dalam penyaluran pembiayaan dengan system bagi hasil ke LKMS. Padahal dalam penyaluran pembiayaan dengan system bagi hasil (mudharabah) sangatlah diperlukan SDI yang mampu melakukan analisa terhadap kelayakan sebuah LKMS mendapatkan atau tidak suatu pembiayaan dengan system bagi hasil.

Juga sangat diperlukan SDI Bank Umum Syariah yang mampu melakukan kontrol yang bagus terhadap jalannya usaha LKMS dan juga mampu membaca dan menganalisa kondisi keuangan LKMS. Karena tingkat keuntungan atau kerugian yang akan diperoleh Bank Umum Syariah sangat tergantung sekali dengan tingkat keuntungan LKMS yang diberikan pembiayaan.


2. Dalam system bagi hasil yang diterapkan oleh Bank Umum Syariah ketika bekerjasama dengan sebuah LKMS , nilai amanah sangat memegang kunci sukses tidaknya kerjasama tsb dalam memberdayakan ekonomi ummat. Kisah nyata kesuksesan kerjasama antara Bank Umum Syariah tempat saya bekerja dengan LKMS seperti tsb di atas disebabkan karena selain profesionalisme pengurus BPRS juga karena pengurus BPRS tsb bisa menjaga amanah yang diberikan oleh Bank Umum Syariah


Kegagalan kerjasama antara Bank Umum Syariah dengan LKMS yang pernah terjadi disebabkan karena masih adanya pengurus LKMS yang tidak amanah yaitu dana yang mestinya disalurkan ke pedagang/pengusaha kecil malah dipakai oleh pengurus LKMS untuk keperluan pribadinya sendiri, sehingga kewajiban pembayaran angsuran ke Bank Umum Syariah menjadi macet.


3. Tidak adanya jaminan berupa agunan yang mesti dipenuhi oleh para pedagang atau pengusaha kecil yang menerima pembiayaan dari LKMS. Menurut Dirut LKMS (dari kisah di atas) usaha LKMS mereka awalnya mengalami banyak sekali kerugian karena pada awalnya setiap pemberian pembiayaan kepada para pedagang atau pengusaha kecil tidak memakai jaminan sehingga para pedagang atau pengusaha kecil tsb tidak mempunyai rasa tanggung jawab untuk mengembalikan pinjaman ke LKMS. Setelah dimulainya dimintakan jaminan setiap pengajuan pembiayaan maka para pedagang atau pengusaha kecil tsb mulai lancar dalam mengembalikan pembiayaan ke LKMS.


Walaupun adanya hambatan-hambatan tsb, bukan berarti Bank Umum Syariah yang ada di Indonesia tidak bisa melakukan kerjasama dengan LKMS dalam mengembangkan ekonomi ummat karena tujuan utama Bank Umum Syariah pertama kali didirikan tahun 1992 agar bisa membantu memberdayakan ekonomi ummat yang bebas ribawi. Jangan sampai Bank Syariah tertinggal dari Bank-bank Konvensional dalam membantu usaha kecil dan menengah.


Hambatan-hambatan tsb di atas penulis yakin bisa dicarikan berbagai macam solusinya, seperti tentu saja dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas SDI baik di Bank Umum Syariah dan LKMS melalui pendidikan atau training. Dan juga sharing berbagi pengalaman diantara sesama SDI dalam mengatasi hambatan – hambatan tsb di atas.


Wallahu’alam

Ayo Kita Maju Bersama Dengan Bank Syariah

Salam


© Alihozi 30 Desember 2008, http://alihozi77.blogspot.com

Kritik dan saran terhadap artikel ini bisa dikirimkan via sms ke 0813-882-364-05 atau email ke ali.hozi@yahoo.co.id

09 Desember 2008

Alangkah Indahnya Hidup Dengan System Bagi Hasil

Oleh : Alihozi

Http://alihozi77.blogspot.com


Kesulitan likuiditas di industri perbankan sekarang ini belum mereda, mungkin sampai pada tahun 2009 nanti kondisinya masih akan seperti itu. Tak sedikit bank yang masih terus mencari duit untuk mempertahankan dan memperbesar posisi dana pihak ketiganya dengan berbagai cara, dari memberikan hadiah, berbagai fasilitas dan juga tentunya menaikkan tingkat suku bunga simpanan. Ada kemungkinan banyak bank yang berani menawarkan bunga melebihi batas bunga penjaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang sekarang ini cuma 10% untuk nasabah yang jumlah uangnya besar. Hal ini disebabkan karena derasnya kucuran kredit industri perbankan dan kucuran kredit ini tidak diimbangi dengan pasokan dana masyarakat yang masuk ke industri perbankan.


Perang suku bunga terjadi di kalangan perbankan nasional, kondisi ini tentu tidak mengenakkan buat perbankan, karena harus mengeluarkan biaya yang besar untuk mempertahankan atau menarik dana nasabah yang akhirnya perbankan nasional menaikkan tingkat suku bunga untuk pinjaman (kredit). Naiknya tingkat suku bunga kredit tsb tentu saja bisa memberatkan sector riil atau anggota masyarakat dalam usahanya membayar kewajibannya ke sector perbankan, yang juga ditambah dengan daya beli masyarakat saat ini yang sedang mengalami penurunan.


Bagusnya sekarang kondisi perbankan nasional sekarang lebih kuat menghadapi krisis financial global daripada saat terjadinya krisis ekonomi tahun 1997-1998 ini bisa dilihat dari tingkat kepercayaan masyarakat saat ini yang masih tinggi kepada perbankan nasional. Tetapi kalangan perbankan nasional harus tetap waspada karena dikhawatirkan tingkat suku bunga yang tinggi akan menaikkan tingkat kredit macet (NPL) karena sector riil atau anggota masyarakat bisa sewaktu –waktu gagal (macet) membayar kewajibannya kepada perbankan.


Contoh tingginya tingkat fluktuatif (volatilitas) sistem bunga yang diterapkan perbankan konvensional tsb karena salah satu penyebabnya adalah system bunga merupakan subsistem dari system ekonomi kapitalis yang tidak berazaskan keadilan tetapi berazaskan materialisme yang mana sangat memanjakan para deposan (pemilik dana). Para deposan dibuat untuk tidak ikut menanggung resiko dari usaha bank konvensional yang sewaktu-waktu bisa mengalami kerugian (kegagalan), mereka dibuat tidur nyenyak dengan janji-janji pasti mendapatkan bunga dari uang (dana) yang disimpan di bank konvensional.


Padahal di dunia ini tidak ada seorangpun yang bisa mengetahui apa yang akan terjadi dengan pasti pada hari esok, hanya Allah,SWT yang mengetahui dengan pasti apa yang akan terjadi pada hari esok. Kita bisa melihat contohnya dengan terjadinya krisis financial global saat ini yaitu maksud dari bank-bank Eropa membeli surat utang lembaga keuangan AS yang beresiko tinggi (Credit Default Swaps) untuk mendapatkan bunga tinggi yang nantinya akan dibayarkan kepada nasabah deposannya. Bukannya bunga tinggi yang didapat justru dana yang ditanamkan di lembaga-lembaga keuangan AS tsb tidak bisa kembali.


Kalau saya analogikan system bunga seperti meminum syrup yang sangat manis, orang yang meminumnya terus menerus ketagihan manisnya sampai akhirnya secara tiba-tiba bisa mendatangkan berbagai penyakit kepada orang tsb seperti sakit gigi dan sakit diabetes yang parah.. Setelah terkena berbagai penyakit tsb, kesadarannya sudah datang terlambat, kondisi penyakitnya telah ikut merepotkan anggota keluarganya yang lain.


Mengapa saya analogikan seperti itu, karena system bunga menjadikan para deposan tidak perduli apabila bank tempat ia menyimpan tidak sanggup membayar tingkat suku bunga yang telah dijanjikan, seperti pada krisis perbankan tahun 1997-1998 yang mana bank konvensional banyak yang mengalami kondisi negative spread sehingga menimbulkan kepanikan di kalangan para deposan (krisis kepercayaan) yang berujung pada rush.


Kondisi tsb berbeda dengan bank syariah yang memakai system ekonomi syariah dengan subsistem bagi hasilnya, walaupun seperti meminum jamu yang rasanya pahit tetapi untuk jangka panjang sangat menyehatkan tubuh. Bagaimana tidak pahit rasanya di saat kalangan bank konvensional memberikan suku bunga s/d 70%, tingkat bagi hasil yang diberikan oleh bank syariah pada saat itu hanya sekitar 8%. Tetapi pada akhirnya nasabah bank syariah tidak mengalami kepanikan seperti yang dialami nasabah bank konvensional karena bank syariah tidak mengalami kondisi negative spread dan juga karena keyakinan nasabah bank syariah akan bahaya system bunga yang ribawi.


Alangkah indahnya hidup ini andaikan seluruh perbankan nasional kita memakai system ekonomi syariah dengan subsistem bagi hasilnya bukan hanya sebagi alternative tetapi juga sebagai solusi dari krisis financial global. Sayangnya kapan hidup saat ini menjadi indah bagi semua orang dengan system ekonomi syariah, karena sebagian besar anggota masyarakat kita secara sadar atau tidak sudah terjebak kepada system ekonomi kapitalis dengan segala subsistemnya seperti uang kertas (fiat money), cadangan giro wajib minimum (fractional reserve requirement) dan system bunga (interest).


Andaikan ingin keluar dari system ekonomi kapitalis tsb misalnya dari subsystem bunganya saja, amatlah sukar dan payah sekali, ini bisa dilihat dari banyaknya anggota masyarakat yang hanya menjadi penonton dan pengkritik produk-produk dan kinerja bank syariah akan tetapi pada dataran implementatifnya masih memakai system bunga yang ribawi bukan sebagai pelaku ekonomi syariah seperti menjadi nasabah bank syariah.


Wallahu’alam

Al-Faqir


©Alihozi 01 Desember 2008

Komentar dan saran atas tulisan artikel ini bisa disampaikan ke http://alihozi77.blogspot.com atau sms ke 0813-882-364-05.

03 Desember 2008

Tanya Jawab Bank Syariah Vs Bank Konvensional

Oleh; alihozi http://alihozi77.blogspot.com

Ada seorang mahasiswi S2 dan sekarang bekerja di bank konvensional papan atas di Jakarta bertanya kepada saya tentang Bank syariah Vs Bank Konvensional, berikut ini saya tampilkan pertanyaan dan jawabannya dari saya diblog ini , semoga bisa bermanfaat,
Tanya :
Sebelumnya terimakasih Mas Ali (maaf saya pake mas) sudah membalas email saya kemaren,
Saya pernah mengikuti sebuah khutbah idul fitri dimana sang khatib pernah mengatakan harta yang diperoleh dari riba termasuk didalamnya bekerja di institusi yang menyebabkan riba haram hukumnya dan tidak pernah bisa dibersihkan dengan cara apapun. Lalu apakah ini berarti seluruh harta yang dititipkan kepada saya adalah haram dan tidak layak untuk saya sampaikan kepada yang berhak?
Karena saya setiap bulannya hanya mendapatkan gaji dari perusahaan yang bersumber dari komponen bunga dan fee base income, jadi disana ada unsur halal dan haramnya lalu bagaimana jadinya pendapatan saya tsb mas?

Karena mendengar hal tsb saya berencana untuk mencoba berkarir di bank syariah karena masih dihantui banyak kekhawatiran, saya ingin mencoba untuk pindah ke divisi (di perusahaan saya juga ada divisi syariahnya). Lalu kembali pada pertanyaan semula, divisi ini adalah bagian dari induk perusahaan yang mana pada kenyataannya akan dikonsolidasi seluruhnya lalu bagaiman dengan kehalalannya? Apakah cara seperti ini bisa dikategorikan halal?

Mengenai hasil analisa saya, bank konvensional dan syariah pada prinsipnya sama-sama tidak mau rugi, sebagi contoh : bank konvensional dan bank syariah sama-sama memberikan pinjaman dana kepada nasabah sebagai modal untuk usaha bank konvensional mengharapkan pengembalian berbentuk bunga sedangkan bank syariah juga mengharapkan sedikit balas budi dengan bagi hasil.

Pada perjalanannya ternyata sang nasabah berhasil maka kedua bank akan mendapat imbalan dan apabila sebaliknya sang nasabah justru tidak berhasil usahanya saya yakin kedua bank ini akan sama-sama berupaya untuk mendapatkan dananya kembali, lalu dimana letak bedanya? Saya hanya melihat perbedaan 2 kata.. bunga dan bagi hasil dimana bunga adalah haram dan bagi hasil adalah halal menurut Al-Qur’an lalu apa bedanya jika yang diharapkan dan yang didapatkan adalah sama-sama imbalan atas jasa yang sudah diberikan.
Untuk saat ini baru itu saja uneg-uneg saya mas Ali, sebelumnya mohon maaf jikalau ada kata-kata saya yang kurang sopan

Alihozi menjawab :
Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh

Semoga kita semua orang muslim dan mukmin selalu mendapatkan ampunan dari Allah,SWT atas masih dipakainya system ekonomi kapitalis yang ribawi dengan segala subsistemnya di Negara Indonesia yang mayoritas beragama Islam dan semoga Allah.SWT memberikan kita semua kekuatan/petunjuk untuk meninggalkan system ekonomi kapitalis yang ribawi dan kembali kepada system ekonomi syariah.

Mba akhwat yang baik, maaf mba mungkin kali ini jawaban saya agak panjang , mudah-mudahan bisa dimaklumi dan dimengerti,

Pertama – tama perlu mba ketahui masalah riba sebenarnya bukan hanya terletak terhadap system bunga saja tetapi juga keseluruhan subsistem ekonomi kapitalis seperti uang kertas (fiat money) yang sehari – hari kita pakai mba. Bagaimana tidak dikatakan riba uang kertas yang kita pakai, nilai instrinsiknya saja jauh lebih rendah dibandingkan dengan nilai nominal yang tertera di uang kertas, diakui punyai nilai karena uang kertas yang memberlakukan adalah pemerintah yang mempunyai kekuatan politik.
Uang yang tidak riba adalah uang yang dipakai jaman Rasulullah dan jaman 4 Khalifah yaitu dinar (emas) dan dirham (perak) yang memiliki nilai instrinsik yang diakui semua ummat manusia di dunia.

Jadi jaman sekarang ini menurut saya adalah jaman yang disinyalir oleh Rasulullah dulu bahwa “ akan datang suatu jaman dimana semua orang akan memakan riba yang tidak makan ribapun akan terkena debunya”. Termasuk ustadz yang ceramah idul fitri itu juga terkena riba mba karena saya yakin masih memakai uang kertas (fiat money).

Cara Rasulullah dalam berdakwah sering memakai cara yang bertahap (tidak sekaligus), contoh coba lihat turunnya ayat pelarangan minum yang memabukkan dan ayat pelarangan turunnya riba. Ayat-ayat tentang larangan tsb tidak turun sekaligus tetapi bertahap (gradual), ini berarti dalam berdakwah kita tidak bisa merubah suatu keadaan yang bertentangan dengan tuntunan ajaran agama islam secara sekaligus harus secara bertahap (gradual). Kalau sekaligus dikhawatirkan akan membahayakan ajaran agama Islam itu sendiri secara keseluruhan (Sistem Moneter Islam, Dr Umar Chapra).

Oleh karena itu sekarang ini bank syariah sedang berusaha dengan tidak lagi memakai lagi system ekonomi kapitalis dengan cara bertahap (gradual). Pertama bank syariah sekarang ini sedang berusaha menghilangkan salah satu subsystem ekonomi kapitalis yakni system bunga tsb, walaupun praktek di lapangan menemui banyak sekali kendala yang di luar kemampuan para praktisi perbankan syariah (nanti mba bisa lebih tahu kalo mba jadi praktisi bank syariah). Ini erat kaitannya dengan pertanyaan mba mengapa bank syariah yang memakai system bagi hasil hanya mau menerima bagi hasil saja (Profit sharing) dan tidak mau bagi untung dan rugi (Profit & Loss Sharing) dari usaha nasabah?

Pada praktek di lapangan, dana yang dikelola bank syariah adalah sebagian besar dana tabungan/masyarakat yang mana sampai saat ini saya belum menemukan seorangpun nasabah yang mau berbagi rugi dengan bank syariah (profit & Loss Sharing). Oleh karena itulah bila nasabah peminjam usahanya rugi, bank syariah seperti bank konvensional juga berusaha agar dananya kembali. Tetapi walaupun begitu tetap ada bedanya dan bedanya tsb jauh lebih adil dan menguntungkan buat nasabah yang meminjam di bank syariah dibandingkan dengan nasabah tsb meminjam di bank konvensional.

Saya berikan contoh kisah nyata yang pernah terjadi di bank syariah tempat saya bekerja aja ya mba, supaya lebih mudah dipahami. Pada Okt tahun 2002 pedagang meminjam di bank syariah untuk membeli gudang barang Rp.400.000.000,- karena ia tidak bisa membuat laporan keuangan maka akhirnya disepakati akad yang dipakai adalah murabahah (jual beli) bukan bagi hasil. Bank Syariah membeli gudang itu Rp.400.000.000,- dan menjual ke pedagang tsb ditambah margin 69%, harga jual =Rp.676.571.000,- dan selama lima tahun (60 bulan) sampai Okt tahun 2007 ia diharuskan membayar angsuran termasuk margin +/- Rp.11.276.000,-/bulan.

Namun karena pada feb tahun 2003 kios-kios di pasarnya banyak yang terbakar (force majeur) ia tidak lagi sanggup membayar ke bank syariah sejak Nov 2003, karena ia hanya sanggup membayar Rp.7.000.000/ bulan mulai bulan Nov 2004. Akhirnya disetujui bank syariah pada nov tahun 2004 jadwal angsurannya diperpanjang selama 46 bulan, pada saat itu total outstanding hutangnya (pokok = Rp.342.661.980+ margin= Rp.176.042.620)= Rp.518.704.600,-.

Disinilah letak keadilannya walaupun diperpanjang selama 46 bulan lagi, berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, maka bank syariah tidak boleh merubah(menaikkan) outstanding harga jual , nasabah tetap membayar Rp.518.704.600,. Padahal bank syariah telah rugi dengan tidak menerima angsuran dari bulan nov 03 – nov 04 (12 bulan). Perlu mba ketahui sekarang ini hutang pedagang tsb tinggal sedikit lagi terbayar dan gudangnya tsb sudah bernilai Rp.1,4 milyar, jelas menguntungkan bukan, sudah tidak membayar bunga/denda dari keterlambatan pembayaran, asset gudangya sekarang harganya mengalami kenaikan.

Begitu juga dengan system bagi hasil, andaikan pedagang yang tidak mampu lagi membayar angsuran tsb, perlakuannya sama persis seperti akad murabahah (jual-beli) yakni bank syariah tidak boleh lagi untuk memungut bagi hasil, margin atau bunga dari setiap bulan keterlambatan pembayaran angsuran dari nasabah peminjam tsb, kecuali kalau nasabah peminjam punya itikad tidak baik disengaja untuk tidak membayar angsuran (padahal ia mampu membayar) maka bank syariah boleh memungut denda namun denda tsb tidak boleh memberatkan dan tidak boleh masuk ke pendapatan bank syariah tapi masuk ke dana sosial.

Mba akhwat kan kerja di bank konvensional coba bandingkan, kalau pedagang tsb meminjam di bank konvensional saya yakin dengan ansumsi yang sama (sama2 reschedule di bulan nov 04) bank konvensional akan tetap memungut bunga kepada pedagang tsb selama ia tidak bayar angsuran dari bulan nov 03 – nov 04 (12 bulan), karena rumus system bungakan P(1+i pangkat n).

Belum lagi sifat tingkat suku bunga yang sangat fluktuatif. Pedagang itu akan menanggung beban bunga yang besar kalau pada saat resechedule nov 04 tingkat suku bunga pasar naik. Inilah yang membuat mengapa negara-negara berkembang seperti Indonesia tidak akan mampu melunasi hutangnya ke negara – negara maju karena bunganya yang selalu bertambah setiap waktu dengan rumus P(1+i pangkat n.).

Berdasarkan uraian saya tsb di atas, jelas system bank syariah jauh lebih adil dan menguntungkan walaupun mungkin belum bebas riba karena masih dipakainya uang kertas (fiat money). Maka bila mba ada kesempatan hijrah ke bank syariah seperti pindah ke divisi syariah tempat mba bekerja (NB: divisi syariah tempat mba bekerja, systemnya juga harus sama seperti yang telah saya jelaskan di atas), maka mba harus segera pindah ke divisi syariah tsb. Kalau tidak mba bisa berdosa karena mba dianggap tidak berusaha keluar dari system bunga yang ribawi. Kecuali memang mba belum ada kesempatan hijrah ke bank syariah, walaupun begitu mba harus tetap punya niat yang kuat untuk bisa hijrah dari bank konvensional ke bank syariah dan selalu memperbanyak istighfar dan shalawat nabi agar dosa-dosanya diampuni Allah,SWT.
Wallahu’alam
Al-Faqir

©Alihozi http://alihozi77.blogspot.com
Kirimkan pertanyaan-pertanyaan anda seputar ekonomi syariah ke alamat email ali.hozi@yahoo.co.id