Ada seorang mahasiswi S2 dan sekarang bekerja di bank konvensional papan atas di Jakarta bertanya kepada saya tentang Bank syariah Vs Bank Konvensional, berikut ini saya tampilkan pertanyaan dan jawabannya dari saya diblog ini , semoga bisa bermanfaat,
Tanya :
Sebelumnya terimakasih Mas Ali (maaf saya pake mas) sudah membalas email saya kemaren,
Saya pernah mengikuti sebuah khutbah idul fitri dimana sang khatib pernah mengatakan harta yang diperoleh dari riba termasuk didalamnya bekerja di institusi yang menyebabkan riba haram hukumnya dan tidak pernah bisa dibersihkan dengan cara apapun. Lalu apakah ini berarti seluruh harta yang dititipkan kepada saya adalah haram dan tidak layak untuk saya sampaikan kepada yang berhak?
Karena saya setiap bulannya hanya mendapatkan gaji dari perusahaan yang bersumber dari komponen bunga dan fee base income, jadi disana ada unsur halal dan haramnya lalu bagaimana jadinya pendapatan saya tsb mas?
Karena mendengar hal tsb saya berencana untuk mencoba berkarir di bank syariah karena masih dihantui banyak kekhawatiran, saya ingin mencoba untuk pindah ke divisi (di perusahaan saya juga ada divisi syariahnya). Lalu kembali pada pertanyaan semula, divisi ini adalah bagian dari induk perusahaan yang mana pada kenyataannya akan dikonsolidasi seluruhnya lalu bagaiman dengan kehalalannya? Apakah cara seperti ini bisa dikategorikan halal?
Mengenai hasil analisa saya, bank konvensional dan syariah pada prinsipnya sama-sama tidak mau rugi, sebagi contoh : bank konvensional dan bank syariah sama-sama memberikan pinjaman dana kepada nasabah sebagai modal untuk usaha bank konvensional mengharapkan pengembalian berbentuk bunga sedangkan bank syariah juga mengharapkan sedikit balas budi dengan bagi hasil.
Pada perjalanannya ternyata sang nasabah berhasil maka kedua bank akan mendapat imbalan dan apabila sebaliknya sang nasabah justru tidak berhasil usahanya saya yakin kedua bank ini akan sama-sama berupaya untuk mendapatkan dananya kembali, lalu dimana letak bedanya? Saya hanya melihat perbedaan 2 kata.. bunga dan bagi hasil dimana bunga adalah haram dan bagi hasil adalah halal menurut Al-Qur’an lalu apa bedanya jika yang diharapkan dan yang didapatkan adalah sama-sama imbalan atas jasa yang sudah diberikan.
Untuk saat ini baru itu saja uneg-uneg saya mas Ali, sebelumnya mohon maaf jikalau ada kata-kata saya yang kurang sopan
Alihozi menjawab :
Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh
Semoga kita semua orang muslim dan mukmin selalu mendapatkan ampunan dari Allah,SWT atas masih dipakainya system ekonomi kapitalis yang ribawi dengan segala subsistemnya di Negara Indonesia yang mayoritas beragama Islam dan semoga Allah.SWT memberikan kita semua kekuatan/petunjuk untuk meninggalkan system ekonomi kapitalis yang ribawi dan kembali kepada system ekonomi syariah.
Mba akhwat yang baik, maaf mba mungkin kali ini jawaban saya agak panjang , mudah-mudahan bisa dimaklumi dan dimengerti,
Pertama – tama perlu mba ketahui masalah riba sebenarnya bukan hanya terletak terhadap system bunga saja tetapi juga keseluruhan subsistem ekonomi kapitalis seperti uang kertas (fiat money) yang sehari – hari kita pakai mba. Bagaimana tidak dikatakan riba uang kertas yang kita pakai, nilai instrinsiknya saja jauh lebih rendah dibandingkan dengan nilai nominal yang tertera di uang kertas, diakui punyai nilai karena uang kertas yang memberlakukan adalah pemerintah yang mempunyai kekuatan politik.
Uang yang tidak riba adalah uang yang dipakai jaman Rasulullah dan jaman 4 Khalifah yaitu dinar (emas) dan dirham (perak) yang memiliki nilai instrinsik yang diakui semua ummat manusia di dunia.
Jadi jaman sekarang ini menurut saya adalah jaman yang disinyalir oleh Rasulullah dulu bahwa “ akan datang suatu jaman dimana semua orang akan memakan riba yang tidak makan ribapun akan terkena debunya”. Termasuk ustadz yang ceramah idul fitri itu juga terkena riba mba karena saya yakin masih memakai uang kertas (fiat money).
Cara Rasulullah dalam berdakwah sering memakai cara yang bertahap (tidak sekaligus), contoh coba lihat turunnya ayat pelarangan minum yang memabukkan dan ayat pelarangan turunnya riba. Ayat-ayat tentang larangan tsb tidak turun sekaligus tetapi bertahap (gradual), ini berarti dalam berdakwah kita tidak bisa merubah suatu keadaan yang bertentangan dengan tuntunan ajaran agama islam secara sekaligus harus secara bertahap (gradual). Kalau sekaligus dikhawatirkan akan membahayakan ajaran agama Islam itu sendiri secara keseluruhan (Sistem Moneter Islam, Dr Umar Chapra).
Oleh karena itu sekarang ini bank syariah sedang berusaha dengan tidak lagi memakai lagi system ekonomi kapitalis dengan cara bertahap (gradual). Pertama bank syariah sekarang ini sedang berusaha menghilangkan salah satu subsystem ekonomi kapitalis yakni system bunga tsb, walaupun praktek di lapangan menemui banyak sekali kendala yang di luar kemampuan para praktisi perbankan syariah (nanti mba bisa lebih tahu kalo mba jadi praktisi bank syariah). Ini erat kaitannya dengan pertanyaan mba mengapa bank syariah yang memakai system bagi hasil hanya mau menerima bagi hasil saja (Profit sharing) dan tidak mau bagi untung dan rugi (Profit & Loss Sharing) dari usaha nasabah?
Pada praktek di lapangan, dana yang dikelola bank syariah adalah sebagian besar dana tabungan/masyarakat yang mana sampai saat ini saya belum menemukan seorangpun nasabah yang mau berbagi rugi dengan bank syariah (profit & Loss Sharing). Oleh karena itulah bila nasabah peminjam usahanya rugi, bank syariah seperti bank konvensional juga berusaha agar dananya kembali. Tetapi walaupun begitu tetap ada bedanya dan bedanya tsb jauh lebih adil dan menguntungkan buat nasabah yang meminjam di bank syariah dibandingkan dengan nasabah tsb meminjam di bank konvensional.
Saya berikan contoh kisah nyata yang pernah terjadi di bank syariah tempat saya bekerja aja ya mba, supaya lebih mudah dipahami. Pada Okt tahun 2002 pedagang meminjam di bank syariah untuk membeli gudang barang Rp.400.000.000,- karena ia tidak bisa membuat laporan keuangan maka akhirnya disepakati akad yang dipakai adalah murabahah (jual beli) bukan bagi hasil. Bank Syariah membeli gudang itu Rp.400.000.000,- dan menjual ke pedagang tsb ditambah margin 69%, harga jual =Rp.676.571.000,- dan selama lima tahun (60 bulan) sampai Okt tahun 2007 ia diharuskan membayar angsuran termasuk margin +/- Rp.11.276.000,-/bulan.
Namun karena pada feb tahun 2003 kios-kios di pasarnya banyak yang terbakar (force majeur) ia tidak lagi sanggup membayar ke bank syariah sejak Nov 2003, karena ia hanya sanggup membayar Rp.7.000.000/ bulan mulai bulan Nov 2004. Akhirnya disetujui bank syariah pada nov tahun 2004 jadwal angsurannya diperpanjang selama 46 bulan, pada saat itu total outstanding hutangnya (pokok = Rp.342.661.980+ margin= Rp.176.042.620)= Rp.518.704.600,-.
Disinilah letak keadilannya walaupun diperpanjang selama 46 bulan lagi, berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, maka bank syariah tidak boleh merubah(menaikkan) outstanding harga jual , nasabah tetap membayar Rp.518.704.600,. Padahal bank syariah telah rugi dengan tidak menerima angsuran dari bulan nov 03 – nov 04 (12 bulan). Perlu mba ketahui sekarang ini hutang pedagang tsb tinggal sedikit lagi terbayar dan gudangnya tsb sudah bernilai Rp.1,4 milyar, jelas menguntungkan bukan, sudah tidak membayar bunga/denda dari keterlambatan pembayaran, asset gudangya sekarang harganya mengalami kenaikan.
Begitu juga dengan system bagi hasil, andaikan pedagang yang tidak mampu lagi membayar angsuran tsb, perlakuannya sama persis seperti akad murabahah (jual-beli) yakni bank syariah tidak boleh lagi untuk memungut bagi hasil, margin atau bunga dari setiap bulan keterlambatan pembayaran angsuran dari nasabah peminjam tsb, kecuali kalau nasabah peminjam punya itikad tidak baik disengaja untuk tidak membayar angsuran (padahal ia mampu membayar) maka bank syariah boleh memungut denda namun denda tsb tidak boleh memberatkan dan tidak boleh masuk ke pendapatan bank syariah tapi masuk ke dana sosial.
Mba akhwat kan kerja di bank konvensional coba bandingkan, kalau pedagang tsb meminjam di bank konvensional saya yakin dengan ansumsi yang sama (sama2 reschedule di bulan nov 04) bank konvensional akan tetap memungut bunga kepada pedagang tsb selama ia tidak bayar angsuran dari bulan nov 03 – nov 04 (12 bulan), karena rumus system bungakan P(1+i pangkat n).
Belum lagi sifat tingkat suku bunga yang sangat fluktuatif. Pedagang itu akan menanggung beban bunga yang besar kalau pada saat resechedule nov 04 tingkat suku bunga pasar naik. Inilah yang membuat mengapa negara-negara berkembang seperti Indonesia tidak akan mampu melunasi hutangnya ke negara – negara maju karena bunganya yang selalu bertambah setiap waktu dengan rumus P(1+i pangkat n.).
Berdasarkan uraian saya tsb di atas, jelas system bank syariah jauh lebih adil dan menguntungkan walaupun mungkin belum bebas riba karena masih dipakainya uang kertas (fiat money). Maka bila mba ada kesempatan hijrah ke bank syariah seperti pindah ke divisi syariah tempat mba bekerja (NB: divisi syariah tempat mba bekerja, systemnya juga harus sama seperti yang telah saya jelaskan di atas), maka mba harus segera pindah ke divisi syariah tsb. Kalau tidak mba bisa berdosa karena mba dianggap tidak berusaha keluar dari system bunga yang ribawi. Kecuali memang mba belum ada kesempatan hijrah ke bank syariah, walaupun begitu mba harus tetap punya niat yang kuat untuk bisa hijrah dari bank konvensional ke bank syariah dan selalu memperbanyak istighfar dan shalawat nabi agar dosa-dosanya diampuni Allah,SWT.
Wallahu’alam
Al-Faqir
©Alihozi http://alihozi77.blogspot.com
Kirimkan pertanyaan-pertanyaan anda seputar ekonomi syariah ke alamat email ali.hozi@yahoo.co.id
Tanya :
Sebelumnya terimakasih Mas Ali (maaf saya pake mas) sudah membalas email saya kemaren,
Saya pernah mengikuti sebuah khutbah idul fitri dimana sang khatib pernah mengatakan harta yang diperoleh dari riba termasuk didalamnya bekerja di institusi yang menyebabkan riba haram hukumnya dan tidak pernah bisa dibersihkan dengan cara apapun. Lalu apakah ini berarti seluruh harta yang dititipkan kepada saya adalah haram dan tidak layak untuk saya sampaikan kepada yang berhak?
Karena saya setiap bulannya hanya mendapatkan gaji dari perusahaan yang bersumber dari komponen bunga dan fee base income, jadi disana ada unsur halal dan haramnya lalu bagaimana jadinya pendapatan saya tsb mas?
Karena mendengar hal tsb saya berencana untuk mencoba berkarir di bank syariah karena masih dihantui banyak kekhawatiran, saya ingin mencoba untuk pindah ke divisi (di perusahaan saya juga ada divisi syariahnya). Lalu kembali pada pertanyaan semula, divisi ini adalah bagian dari induk perusahaan yang mana pada kenyataannya akan dikonsolidasi seluruhnya lalu bagaiman dengan kehalalannya? Apakah cara seperti ini bisa dikategorikan halal?
Mengenai hasil analisa saya, bank konvensional dan syariah pada prinsipnya sama-sama tidak mau rugi, sebagi contoh : bank konvensional dan bank syariah sama-sama memberikan pinjaman dana kepada nasabah sebagai modal untuk usaha bank konvensional mengharapkan pengembalian berbentuk bunga sedangkan bank syariah juga mengharapkan sedikit balas budi dengan bagi hasil.
Pada perjalanannya ternyata sang nasabah berhasil maka kedua bank akan mendapat imbalan dan apabila sebaliknya sang nasabah justru tidak berhasil usahanya saya yakin kedua bank ini akan sama-sama berupaya untuk mendapatkan dananya kembali, lalu dimana letak bedanya? Saya hanya melihat perbedaan 2 kata.. bunga dan bagi hasil dimana bunga adalah haram dan bagi hasil adalah halal menurut Al-Qur’an lalu apa bedanya jika yang diharapkan dan yang didapatkan adalah sama-sama imbalan atas jasa yang sudah diberikan.
Untuk saat ini baru itu saja uneg-uneg saya mas Ali, sebelumnya mohon maaf jikalau ada kata-kata saya yang kurang sopan
Alihozi menjawab :
Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh
Semoga kita semua orang muslim dan mukmin selalu mendapatkan ampunan dari Allah,SWT atas masih dipakainya system ekonomi kapitalis yang ribawi dengan segala subsistemnya di Negara Indonesia yang mayoritas beragama Islam dan semoga Allah.SWT memberikan kita semua kekuatan/petunjuk untuk meninggalkan system ekonomi kapitalis yang ribawi dan kembali kepada system ekonomi syariah.
Mba akhwat yang baik, maaf mba mungkin kali ini jawaban saya agak panjang , mudah-mudahan bisa dimaklumi dan dimengerti,
Pertama – tama perlu mba ketahui masalah riba sebenarnya bukan hanya terletak terhadap system bunga saja tetapi juga keseluruhan subsistem ekonomi kapitalis seperti uang kertas (fiat money) yang sehari – hari kita pakai mba. Bagaimana tidak dikatakan riba uang kertas yang kita pakai, nilai instrinsiknya saja jauh lebih rendah dibandingkan dengan nilai nominal yang tertera di uang kertas, diakui punyai nilai karena uang kertas yang memberlakukan adalah pemerintah yang mempunyai kekuatan politik.
Uang yang tidak riba adalah uang yang dipakai jaman Rasulullah dan jaman 4 Khalifah yaitu dinar (emas) dan dirham (perak) yang memiliki nilai instrinsik yang diakui semua ummat manusia di dunia.
Jadi jaman sekarang ini menurut saya adalah jaman yang disinyalir oleh Rasulullah dulu bahwa “ akan datang suatu jaman dimana semua orang akan memakan riba yang tidak makan ribapun akan terkena debunya”. Termasuk ustadz yang ceramah idul fitri itu juga terkena riba mba karena saya yakin masih memakai uang kertas (fiat money).
Cara Rasulullah dalam berdakwah sering memakai cara yang bertahap (tidak sekaligus), contoh coba lihat turunnya ayat pelarangan minum yang memabukkan dan ayat pelarangan turunnya riba. Ayat-ayat tentang larangan tsb tidak turun sekaligus tetapi bertahap (gradual), ini berarti dalam berdakwah kita tidak bisa merubah suatu keadaan yang bertentangan dengan tuntunan ajaran agama islam secara sekaligus harus secara bertahap (gradual). Kalau sekaligus dikhawatirkan akan membahayakan ajaran agama Islam itu sendiri secara keseluruhan (Sistem Moneter Islam, Dr Umar Chapra).
Oleh karena itu sekarang ini bank syariah sedang berusaha dengan tidak lagi memakai lagi system ekonomi kapitalis dengan cara bertahap (gradual). Pertama bank syariah sekarang ini sedang berusaha menghilangkan salah satu subsystem ekonomi kapitalis yakni system bunga tsb, walaupun praktek di lapangan menemui banyak sekali kendala yang di luar kemampuan para praktisi perbankan syariah (nanti mba bisa lebih tahu kalo mba jadi praktisi bank syariah). Ini erat kaitannya dengan pertanyaan mba mengapa bank syariah yang memakai system bagi hasil hanya mau menerima bagi hasil saja (Profit sharing) dan tidak mau bagi untung dan rugi (Profit & Loss Sharing) dari usaha nasabah?
Pada praktek di lapangan, dana yang dikelola bank syariah adalah sebagian besar dana tabungan/masyarakat yang mana sampai saat ini saya belum menemukan seorangpun nasabah yang mau berbagi rugi dengan bank syariah (profit & Loss Sharing). Oleh karena itulah bila nasabah peminjam usahanya rugi, bank syariah seperti bank konvensional juga berusaha agar dananya kembali. Tetapi walaupun begitu tetap ada bedanya dan bedanya tsb jauh lebih adil dan menguntungkan buat nasabah yang meminjam di bank syariah dibandingkan dengan nasabah tsb meminjam di bank konvensional.
Saya berikan contoh kisah nyata yang pernah terjadi di bank syariah tempat saya bekerja aja ya mba, supaya lebih mudah dipahami. Pada Okt tahun 2002 pedagang meminjam di bank syariah untuk membeli gudang barang Rp.400.000.000,- karena ia tidak bisa membuat laporan keuangan maka akhirnya disepakati akad yang dipakai adalah murabahah (jual beli) bukan bagi hasil. Bank Syariah membeli gudang itu Rp.400.000.000,- dan menjual ke pedagang tsb ditambah margin 69%, harga jual =Rp.676.571.000,- dan selama lima tahun (60 bulan) sampai Okt tahun 2007 ia diharuskan membayar angsuran termasuk margin +/- Rp.11.276.000,-/bulan.
Namun karena pada feb tahun 2003 kios-kios di pasarnya banyak yang terbakar (force majeur) ia tidak lagi sanggup membayar ke bank syariah sejak Nov 2003, karena ia hanya sanggup membayar Rp.7.000.000/ bulan mulai bulan Nov 2004. Akhirnya disetujui bank syariah pada nov tahun 2004 jadwal angsurannya diperpanjang selama 46 bulan, pada saat itu total outstanding hutangnya (pokok = Rp.342.661.980+ margin= Rp.176.042.620)= Rp.518.704.600,-.
Disinilah letak keadilannya walaupun diperpanjang selama 46 bulan lagi, berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, maka bank syariah tidak boleh merubah(menaikkan) outstanding harga jual , nasabah tetap membayar Rp.518.704.600,. Padahal bank syariah telah rugi dengan tidak menerima angsuran dari bulan nov 03 – nov 04 (12 bulan). Perlu mba ketahui sekarang ini hutang pedagang tsb tinggal sedikit lagi terbayar dan gudangnya tsb sudah bernilai Rp.1,4 milyar, jelas menguntungkan bukan, sudah tidak membayar bunga/denda dari keterlambatan pembayaran, asset gudangya sekarang harganya mengalami kenaikan.
Begitu juga dengan system bagi hasil, andaikan pedagang yang tidak mampu lagi membayar angsuran tsb, perlakuannya sama persis seperti akad murabahah (jual-beli) yakni bank syariah tidak boleh lagi untuk memungut bagi hasil, margin atau bunga dari setiap bulan keterlambatan pembayaran angsuran dari nasabah peminjam tsb, kecuali kalau nasabah peminjam punya itikad tidak baik disengaja untuk tidak membayar angsuran (padahal ia mampu membayar) maka bank syariah boleh memungut denda namun denda tsb tidak boleh memberatkan dan tidak boleh masuk ke pendapatan bank syariah tapi masuk ke dana sosial.
Mba akhwat kan kerja di bank konvensional coba bandingkan, kalau pedagang tsb meminjam di bank konvensional saya yakin dengan ansumsi yang sama (sama2 reschedule di bulan nov 04) bank konvensional akan tetap memungut bunga kepada pedagang tsb selama ia tidak bayar angsuran dari bulan nov 03 – nov 04 (12 bulan), karena rumus system bungakan P(1+i pangkat n).
Belum lagi sifat tingkat suku bunga yang sangat fluktuatif. Pedagang itu akan menanggung beban bunga yang besar kalau pada saat resechedule nov 04 tingkat suku bunga pasar naik. Inilah yang membuat mengapa negara-negara berkembang seperti Indonesia tidak akan mampu melunasi hutangnya ke negara – negara maju karena bunganya yang selalu bertambah setiap waktu dengan rumus P(1+i pangkat n.).
Berdasarkan uraian saya tsb di atas, jelas system bank syariah jauh lebih adil dan menguntungkan walaupun mungkin belum bebas riba karena masih dipakainya uang kertas (fiat money). Maka bila mba ada kesempatan hijrah ke bank syariah seperti pindah ke divisi syariah tempat mba bekerja (NB: divisi syariah tempat mba bekerja, systemnya juga harus sama seperti yang telah saya jelaskan di atas), maka mba harus segera pindah ke divisi syariah tsb. Kalau tidak mba bisa berdosa karena mba dianggap tidak berusaha keluar dari system bunga yang ribawi. Kecuali memang mba belum ada kesempatan hijrah ke bank syariah, walaupun begitu mba harus tetap punya niat yang kuat untuk bisa hijrah dari bank konvensional ke bank syariah dan selalu memperbanyak istighfar dan shalawat nabi agar dosa-dosanya diampuni Allah,SWT.
Wallahu’alam
Al-Faqir
©Alihozi http://alihozi77.blogspot.com
Kirimkan pertanyaan-pertanyaan anda seputar ekonomi syariah ke alamat email ali.hozi@yahoo.co.id
3 komentar:
Ass. Wr. Wb.
Menurut saya pemikiran tentang Bank Syariah seperti itu bagus tetapi kebanyakan yang masuk divisi Syariah tidak sepenuhnya Syariah. Mba menurut saya mba harus lihat dulu Visi Misi Pimpinan Syariahnya jangan sampai Bank Syariah tetapi jiwa pemimpin kita masih konvensional kurang Ukhuwahnya. saya berani berkomentar seperti itu karena terjadi pada pada salah satu bank syariah yang memperkerjakan saya.
Nice site you have here..
Thanks for the info..I'll use this a lot
Ass Wr.Wb,...
maaf klo out off the record,bang
Saya mau tanya nich,klo utk KPR syariah yg paling menguntung saat ini di bank apa yach?thx n Wss Wr.Wb
Posting Komentar