01 Juni 2008

KARTU KREDIT SYARIAH MANFAAT ATAU MUDHARAT ?


Oleh : Alihozi


Saya mempunyai seorang tetangga yang kaya yang simpanan uang di banknya lumayan banyak, walaupun kaya ia dengan tetangga yang lain sangat baik suka membantu orang yang sedang kesulitan. Beberapa tahun terakhir ini ia kelihatan sedang susah kehidupannya. Setelah ditanyakan ternyata ia mempunyai masalah dengan tagihan kartu kreditnya, ia mempunyai kebiasaan suka berbelanja dengan kartu kredit tapi menunda – nunda pembayaran tagihan kartu kredit sehingga hutang kartu kreditnya semakin besar karena ditambah dengan hutang bunga yang terus menerus bertambah. Itu hanyalah salah satu kisah nyata dari ribuan orang yang mempunyai masalah dengan tagihan kartu kredit di bank konvensional.

Sekarang bagaimanakah dengan kartu kredit syariah yang telah dikeluarkan oleh salah satu bank syariah, apakah membawa manfaat atau mudharat ?

Kartu kredit Syariah sebenarnya sama saja dengan kartu kredit yang dikeluarkan oleh bank konvensional baik fungsi maupun kegunaannya bedanya kalau kartu kredit syariah , bank syariah yang menerbitkannya tidak diperkenankan untuk memungut bunga tetapi hanya Imbal jasa atau fee dari setiap pemakaian kartu kredit syariah tsb. Jadi karena fungsi dan kegunaannya sama dengan kartu kredit konvensional, kartu kredit syariah juga banyak membawa mudharat baik kepada nasabah dan maupun bagi bank syariah yang menerbitkannya yaitu :

  1. Kartu kredit syariah bisa mendorong nasabah untuk bersikap konsumtif, boros yang dilarang oleh ajaran agama Islam , seperti yang tercantum dalam Al-Qur’an Surat At-Takasur, dan Surat Al-Isra Ayat 26-27.
  2. Salah satu misi utama bank syariah adalah mendorong terciptanya sektor rill yang banyak menyerap tenaga kerja bukannya sebaliknya menciptakan ummat yang konsumtif. Kalau banyak kartu kredit syariah yang bermasalah misalnya pembayaran kartu kredit syariah bannyak yang macet, hal ini bisa menggangu misi utama bank syariah dalam mendorong terciptanya sektor rill tsb.
  3. Kartu kredit syariah tidak dikenakan bunga keterlambatan dan tidak adanya jaminan (collateral) dari para nasabah penggunanya sehingga nasabah tidak ada ikatan moral maupun materill untuk segera melakukan pembayaran tagihan kartu kredit syariahnya, sehingga nasabah cenderung melakukan penundaan pembayaran tagihan kartu kredit syariahnya. Hal ini bisa meningkatkan resiko Non Performing Financing di Bank Syariah yang menerbitkan kartu kredit syariah.


Kalau di dalam bank syariah itu tidak ada produk seperti di perbankan konvensional seperti tidak ada kartu kredit syariah dan tidak adanya kredit multiguna bukan berarti pelayanan bank syariah itu buruk tetapi lebih dilihat dari aspek syariahnya seperti lebih banyak manfaatnya atau mudharatnya. Jadi kesimpulan yang bisa diambil dari uraian di atas adalah tidak semua produk perbankan konvensional bisa diadopsi kedalam produk bank syariah, harus dilihat terlebih dahulu apakah lebih banyak manfaatnya atau mudharatnya bagi bank syariah sendiri maupun bagi nasabah.

Wallahu’alam

Jakarta , 1 Juni 2008

Al-Faqir


Alihozi

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Pak bisakah memberikan definisi yang lebih jelas mengenai istilah 'konsumtif' di artikel tersebut?

Kalau saya lebih suka memakai istilah,'asal jangan lebih besar pasak daripada tiang'.

Karena di kota besar, ekonomi bergulir dengan dinamis ya karena penduduknya yang saling 'konsumtif'. Kalau semua penduduk kota rajin menabung, maka justru sektor riil tidak akan berjalan, lha siapa yang membeli barang-barang tersebut, karena uangnya pada ngendap di bank, di bawah bantal atau dalam bentuk emas.

Contohnya di desa, hampir 90% kebutuhan pribadi bisa dicukupi oleh dirinya sendiri. Sayur, beras, lauk diambil dari sawah ladangnya. Genteng rumah bocor, ditambal sendiri. Membuat dinding rumah bisa dibuat sendiri. Maka orang 'relatif' tidak saling memperkerjakan orang lain. Sirkulasi 'uang' atau 'barang' menjadi mandeg. Jadi kalau mau membuat pabrik (yang memperkerjakan banyak orang), harus berfikir ulang karena yang membeli nggak ada.

Kalau 'boros', pengertian saya misalnya berangkat kerja seharusnya cukup pakai sepeda motor saja karena hanya sendirian dan memaksakan diri naik mobil. Ini boros BBM. Dalam berwudhlu diulang-ulang karena senantiasa 'was-was', ragu-ragu, ini juga boros air. Ini tidak baik.

Menurut saya, baik-baik saja orang konsumtif asal tidak besar pasak daripada tiang. Untuk itu, mungkin Bapak bisa menjelaskan lebih lanjut definisi 'konsumtif' tersebut. Terima kasih.

salam,

Suhardono

alihozi77 mengatakan...

Wah, terimakasih banyak kepada Bapak Suhardono yang telah memberikan masukkan yang panjang lebar sehingga lebih memperjelas maksud tulisan saya

Memang maksud kata Konsumtif pada tulisan saya lebih berkonotasi negatif yaitu seperti yang Bapak bilang "lebih besar pasak daripada tiang". dan juga konsumtif yang saya maksud adalah walaupun seseorang itu tidak lebih besar pasak daripada tiang karena ia banyak harta/kaya raya tetapi dalam membelanjakan hartanya itu terlalu berlebihan, barang-barang atau jasa yang tidak dibutuhkannya dibeli juga, misalnya sebenarnya ia hanya butuh baju itu cukup 3 potong tetapi ia membeli baju satu almari karena hanya ingin pamer kepada orang lain, atau misalnya ia membeli susu untuk anaknya yang mahal-mahal yang produk impor padahal ada susu lokal yang lebih murah yang kualitasnya tidak kalah bagusnya dan sebagainya .
Contoh Hidup yang tidak berlebihan dalam membelanjakan harta bisa yang paling bagus adalah mengambil teladan dari Rasulullah dan para sahabat. Ada sebuah kisah pada waktu Rasulullah itu dijamu oleh salah satu sahabat masakan daging kambing, Rasulullah langsung membaca surat At-Takasur karena takut yang dilakukannya adalah suatu hidup yang berlebihan (bermewah-mewah) , padahal Rasulullah itu jarang sekali makan daging, nah bagaimana dengan kita, Apakah kita sudah seperti beliau.?