15 April 2008

PRICING BANK SYARIAH LEBIH MAHAL DARIPADA BUNGA BANK KONVENSIONAL, APAKAH DISEBUT RIBA ?


Oleh : Alihozi



Ada sebuah email yang masuk kepada saya, yang mengatakan bahwa pricing bank syariah lebih mahal dari bunga bank konvensional adalah riba, sayangnya pernyataan ini tidak dilengkapi dengan argument yang kuat. Mestinya pernyataan tsb harus didukung argument yang kuat bukan hanya karena pricing bank syariah lebih mahal daripada bunga bank konvensional lalu mengatakan hal itu adalah riba. Pernyataan ini sama juga berarti mengatakan produk murabahah (jual - beli) yang ada di bank syariah adalah haram karena pricingnya lebih mahal dari bunga bank konvensional.

Kalau memang produk murabahah (jual – beli ) bank syariah adalah haram, bagaimana proses jual beli yang ada di pasar – pasar , mall atau tempat – tempat perdagangan lainnya, Apakah disebut haram juga karena mengambil keuntungan yang lebih besar daripada bunga bank? Misalnya, seorang pedagang tanah abang yang menjual pakaian dengan tingkat keuntungan 30% padahal tingkat suku bunga bank hanya sekitar 9-11% per tahun, apakah itu disebut haram? Padahal Allah, SWT telah berfirman di dalam Al-Qur’an :

“Orang – orang yang memakan riba, tidak dapat berdiri, melainkan seperti orang yang kemasukan syaitan lantaran penyakit gila. Yang disebabkan mereka berkata , sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba “…(Al-Baqarah : 275)

Pada ayat di atas jelas Allah, SWT mengahalalkan jual beli dan mengharamkan riba, dalam sepintas lalu mungkin ada yang menyangka, bahwa memang di antara kedua pekerjaan itu tidak ada perbedaan sedikitpun juga. Bukankah kedua – duanya usaha mencari keuntungan dan bukankah dalam jual beli, untung yang didapat oleh pedagang seringkali jauh lebih besar daripada bunga bank ? Semua pedagang yang dalam sekejap mata mendapat laba yang berlipat ganda dari penjualan suatu barang, tidak dapat dikatakan riba. Akan tetapi bank yang merima uang bunga dari usaha meminjamkan uangnya dikatakan riba yang diharamkan Allah, SWT. Kalau begitu dimanakah letak perbedaannya antara jual beli dengan riba (bunga bank) ? (1)

(Baca juga tulisan saya : “Derita Pedagang Tanah Abang karena Bunga Bank, perbedaan jual beli dengan riba”)

Orang yang berdagang di samping dapat menerima laba, dapat pula menderita rugi , jika karena sesuatu hal barangnya itu terpaksa dijual lebih murah daripada harga pembeliannya, bahkan dapat pula ia sama sekali tidak dapat menjual barangnya karena tidak laku , seperti kejadian kebakaran di pasar tanah abang pada tahun 2003 dan banjir bandang yang melanda pasar cipulir pada tahun 2002.(baca juga tulisan saya :”Derita pedagang tanah abang… dan Duka pedagang Cipulir…”). Jadi jelas bahwa dalam perdagangan orang menanggung resiko , baik berupa tenaga maupun harta, sedangkan dalam meminjamkan uang dengan system bunga bank yang diharamkan itu , penanggung resiko tidak ada. Orang yang meminjam uang dengan system bunga bank konvensional akan memberikan jaminan berupa rumah atau tanah, apabila ia terlambat atau tidak bisa bayar angsuran pinjaman ke bank konvensional maka orang tsb akan dikenakan bunga keterlambatan terus menerus sampai dengan rumah atau tanahnya itu disita oleh bank dan orang tsb tidak mendapatkan sepeserpun dari penyitaan rumah atau tanahnya karena hutang bunganya melebihi hutang pokok yang diberikan oleh bank konvensional.

Selain karena dalam system bunga bank yang diharamkan itu, penanggung resiko tidak ada, juga karena system bunga bank itu sendiri merupakan salah satu factor penyebab ketidakstabilan ekonomi ( Baca juga tulisan saya : “Bahaya Bunga Bank”) Mengapa bisa demikian ? Karena tingkat fluktuasi suku bunga yang sulit diramalkan atau diperkirakan menyebabkan kerugian bagi orang – orang yang meminjam uang di bank konvensional. Saya ambil contoh kasus subprime mortgage AS (kredit macet di sector perumahan) yang berimbas kepada krisis ekonomi AS dan ekonomi global pada saat ini. Kasus Subprime mortgage AS tsb salah satu factor penyebabnya adalah karena meningkatnya suku bunga KPR (Kredit Kepemilikan Rumah). Pada saat suku bunga KPR meningkat, pembayaran bulanan konsumen meningkat secara drastis hal ini menyebabkan konsumen yang memang kurang layak kredit mengalami kesusahan membayar cicilan KPR dan kemudian gagal bayar.(4)

Bagaimana dengan di Indonesia sendiri , Apakah bisa terjadi kasus Subprime mortgage seperti yang di AS ? Menurut hemat saya bisa saja terjadi, kalau masih memakai system bunga dalam menyalurkan KPR, mengapa saya mengatakan demikian ? karena saya menerima email dari salah satu nasabah bank konvensional yang mengeluhkan perubahan suku bunga KPR secara mendadak ketika perjanjian KPR baru berjalan satu tahun, sehingga pembayaran angsuran menjadi lebih besar dan berdampak kepada financial nasabah tsb..

Berdasarkan uraian saya di atas perbedaan antara jual – beli dengan system bunga bank , Apakah produk murabahah (jual beli) pada Bank Syariah masih dikatakan haram, cuma karena pricingnya lebih mahal ? Menurut pendapat saya produk murabahah (jual – beli) pada Bank Syariah itu halal (Tidak Haram) selama harga jual yang telah disepakati antara bank syariah dengan nasabah pada akad jual beli tidak berubah sewaktu – waktu dan juga jual –beli yang dilakukan memenuhi syarat dan rukun jual beli yang telah diatur oleh hukum syariah Islam yaitu :

  1. Ada Penjual dan Pembeli
  2. Ada Barang yang halal yang diperjualbelikan
  3. Harga Barang
  4. Ijab Qabul antara penjual dan pembeli

Apabila suatu Bank Syariah sewaktu – waktu dengan berbagai macam alasan mengubah harga jual yang telah disepakati pada waktu akad, sedangkan periode perjanjian jual beli masih berjalan atau transaksi jual belinya tidak memenuhi rukun jual beli seperti tidak adanya barang yang diperjual belikan, maka Bank Syariah tsb telah melakukan praktek riba seperti pada system bunga bank konvensional.

Jakarta 16 April 2008

Alihozi

Nb: Semua yang ditulis di atas merupakan pendapat penulis pribadi.

Sumber referensi:

  1. Dr. Fuad Mohd Fachrudin : “Riba dalam Bank , Koperasi, Perseroan dan Asuransi”
  2. Ibrahim Lubis : “Pengantar Ekonomi Islam
  3. Ir.Adiwarman Karim : “Pengantar Ekonomi Mikro Islam”
  4. Detik Finance :” Memahami Subprime Mortgage AS”
  5. Dr.Umar Chapra :"Sistem Moneter Islam"

5 komentar:

Unknown mengatakan...

antum menulis:
memenuhi syarat dan rukun jual beli yang telah diatur oleh hukum syariah Islam yaitu : 1) Ada Penjual dan Pembeli 2) Ada Barang yang halal yang diperjualbelikan 3)Harga Barang
4)Ijab Qabul antara penjual dan pembeli.

pertanyaan saya: bolehkah menjual barang yang belum kita miliki (alias harus pesan dulu ke pemilik barang)?

karena kalau yang saya tahu, ada larangan untuk menjual barang milik orang lain (yang belum sah kita miliki). alternatifnya kita beli terlebih dahulu barang tersebut, baru boleh kita berakad (jual) dengan orang lain untuk barang tersebut. atau kita mengambil upah dari pemilik barang karena telah menjualkan barangnya.

implikasi boleh-tidaknya menjual barang yang belum dimiliki adalah pihak bank syariah tidak boleh bertransaksi (murabahah) dengan pembeli bila barangnya (rumah, tanah, dll) belum dimiliki pihak bank.

mohon dijelaskan...

alihozi77 mengatakan...

Apa yang Saudara maksud bahwa apabila suatu barang yang belum secara prinsip menjadi milik bank syariah tidak boleh diperjual belikan adalah benar sesuai dengan fatwa Dewab Syariah Nasional No.04/DSN-MUI/IV/2000 point 9,
“Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank”
Jadi , jika bank syariah melakukan pembayaran atas barang yang dibeli dananya masuk ke rekening penjual barang bukan ke rekening nasabah peminjam, oleh karena banyak kasus terjadinya nasabah peminjam itu ingkar janji (wan prestasi) dalam melunasi pinjamannya ke bank syariah padahal mempunyai kemampuan untuk melakukan pembayaran dan jika bank syariah akan menuntut nasabah tsb ke pengadilan, pengadilan akan meminta bukti rekening nasabah telah menerima pinjaman dari bank syariah, maka untuk tetap menjalankan fatwa DSN di atas, bank syariah akan melakukan pembayaran atas barang ke rekening nasabah peminjam terlebih dahulu dan langsung meminta kepada nasabah tsb perintah transfer dari rekening nasabah ke rekening penjual (pemilik) barang.
Jadi menurut hemat saya, transaksi murabahah(jual-beli) yang sekarang dijalankan di bank syariah masih sesuai dengan fatwa-fatwa yang telah ditetapkan DSN dengan catatan sikap kritis dari masyaratkat muslim di tanah air terhadap praktek perbankan syariah harus terus ada agar kemurnian bank syariah tetap terjaga.
Wallau’alam
Al-Faqir

Alihozi

Anonim mengatakan...

mas kalau boleh sedikit nimbrung komentar. Kayaknya logic mas yang mengasumsikan bank islam dengan pedagang tanah abang yang katanya mark up margin sampe 30% koq enggak nyambung yah. Soalnya pedagang yang jualan kain ato baju di tanah abang itu kan di tokonya enggak pake embel-emble syariah. Masalah dianya ambil margin sampe 30% riba apa enggak ya hanya Allah swt yang lebih tahu. Sekarang kenapa orang pada heran waktu bank syariah pricingnya mahal soalnya bank syariah mengklaim dirinya bank yang sesuai dengan Al-quran, Hadist, dan fatwa ulama. Makanya kalau enggak mau diprotes enggak usahlah pake label Islam kalau kenyataanya enggak beda dengan bank yang pakai sistem bunga...kalau mas alohozi mau lebih detil silahkan mas kunjungi link berikut...tunggu komentarnya :)
http://konsultasimuamalat.wordpress.com/2007/07/02/the-islamic-mortgage-paradigm-shift-or-trojan-horse/#comment-658

Anonim mengatakan...

Konsep Bank syariah secara praktek lebih didasarkan fatwa para ulama. Batasan dari Al Quran menyatakan Riba haram, dan Al Quran menjelaskan juga beberapa konsep praktik dasarnya. Sehingga konsep bank syariah di Indonesia dan di timur tengah mungkin akan berbeda.
Menurut saya yang terjadi di Indonesia, kita baru berusaha untuk syariah dari sisi kontrak/perjanjian. Untuk penerapan yang lebih tegas lagi, memerlukan perangkat sistem infrastruktur yang lebih siap, seperti pengadilannya, pasar uangnya, mata uangnya, dll. Kalau kita masih menggunakan mata uang ala Rupiah, atau Dollar, lho mata uangnya saja di jadikan komoditi perdagangan, kalau gitu dasar nilai tukarnya apa. Contoh beberapa waktu lalu saya tanya, bagaimana sebuah bank syariah bisa masuk ke sektor UKM, bagaimana menghitung bagi hasilnya. Yang saya tangkap (mudah-mudahan saya salah) sepertinya adalah : apabila pinjaman untuk membeli gerobak bakso nilainya 2.5 juta, kemudian mampunya membayar angsuran 100 ribu, maka akan dicari berapa lama uang 2.5 juta tersebut dapat dikembalikan, selanjutnya masih menggunakan juga konsep "time value of money", ini berarti selama jangka waktu pinjaman, tidak ada fluktuasi angsuran (padahal didalam angsuran ada komponen pokok dan bunga) jadi tidak ada fluktuasi bunga, lah bunga kan riba ???
Memang dalam praktek menjadi aneh, setahu saya : bukan kah kalau diberikan dalam bentuk uang, maka apabila pengembalian dalam bentuk uang juga, maka tidak boleh ada kelebihannya (Kecuali kelebihannya sebagai hadiah dari penerima pinjaman)
Karena itu dalam mencermati suatu transaksi perbankan syariah, sangat harus diperhatikan kontraknya bagaimana. bukankah segala sesuatu dimulai dari niat. dan niat ini yang diwujudkan dalam bentuk lisan dan perbuatan. Jadi tidak bisa melihat begitu saja proses business dari transaksinya.
Kedepannya, mudah-mudahan dalam
Wallahualam
Wassalam
Ary

Anonim mengatakan...

kedepannya mudah-mudahan bank syariah bisa punya formula yang lebih baik untuk menentukan cara mendapatkan keuntungan. Ini juga harus mengacu lagi fatwa dan konsep undang-undangnya.
Ary